Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)
RSS

Senin, 22 Juli 2013

LEBARANNYA ALA MAHDI (RAKYAT KECIL)


Lima hari sebelum lebaran bagi Mahdi (65), bukanlah kebahagiaan tapi aib. Ia begitu malu dengan anak dan isterinya, karena tak bisa memberikan sesuatu apapun pada mereka menjelang lebaran.

Pagi itu Mahdi begitu lesuh dan kusut. Bola matanya cekung tak bercahaya. Sambil duduk dan membenarkan atap gubuk yang bocor. Sesekali ia menatap kedua anaknya si Sarif dan Laila yang berdiri di samping pojok pagar rumah tetangganya.

Si Lalila dan Syarif menyaksikan anak tetangganya tengah girang di teras rumah. Mengukur baju dan sepatu baru hadia lebaran orang tua mereka. Pagi itu si Syarif memungut kemasan baju baru anak tetangganya itu. Ditangan Laila dan Syarif menggenggam kemasan bergambar menara Aiffel dan tulisan “Made in Paris”.

Mahdi begitu terpukul. Dimatanya bisa terbaca kehampaan. Ia merasa berdosa. Karena tak bisa memberikan keceriaan pada kedua anaknya di hari lebaran.

Sebagai orang tua, tentu Mahdi merasakan dan bergumul dalam suasana batin kedua anaknya yang lara. Demikian pula si Syarif, pagi itu matanya kosong. Tak ada sediktpun bercak-beracak kegeringan menjelang lebaran di dalam bola matanya yang mungil. Selayaknya Syarif merasakan kegeringan. Sebagaimana anak-anak seusianya yang bersuka cita menungguh datangnya hari raya Iedul Fitri.

Tentu dalam benaknya Syarif bertanya, “kenapa ayah tak bisa membelikannya baju dan sepatu baru untuknya dan Laila?”. Sambil mengucak ujung bajunya yang kumal, Syarif menatap dalam-dalam Laila. Syarif seolah pagi itu turut merasakan kesedihan si Laila adiknnya.

Mahdi hanya buruh bangunan yang melais rejeki dengan menyekop pasir dan semen dengan gaji per hari Rp.10.000. Tentu gaji Mahdi ludes untuk belanja makan saja.

Rp 5000 untuk beli beras, dan sisanya digunakan untuk beli lauk-pauk seadanya. Untung saja kedua anaknya mengenyam bangku pendidikan di sekolah kaum du’afah milik salah satu LSM di sudut kota.

Sekolah besutan para pegiat sosial itu, tidak memungut biaya dari para siswa. Mahdi bisa menghela nafas legah, karena tidak terlalu berputar otak mencari biaya sekolah kedua anaknya.

Fatma istri Mahdi dulunya pemulung. Tapi pekerjaan itu tidak dilakoninya lagi. Fatma cedera. Beberapa hari lalu kakinya disenggol mobil milik tetangganya di ujung pojok jalan.

Tetangganya yang berstatus anggota DPR itu hanya mengganti biaya rumah sakit Rp. 100. 000. Sementera Fatma masih terus berobat ke rumah sakit yang juga biayanya tentu mahal.

Pagi itu Mahdi kelihatan kusut. Di jidatnya menampakkan guratan kegetiran. Beda halnya dengan tetangga sebelahnya yang berstatus anggota DPR, yang setiap pagi dan sore mondar –mandir di samping gubuk Mahdi dengan mobil impor mewah bermerek alvard. Mahdi hanya kenal begitu saja dengan anggota DPR itu.

Tetangganya yang anggota DPR itu tak perna membuang senyum dengan Mahdi. Apalagi bersua. Aku Mahdi, selama ini ia hanya melihat kilauan sepatu tetangganya itu, ketika hendak melepaskan kaki ke tanah yang terlihat separuhnya dari balik pintu mobil. Dan juga sesekali melihat kepala anggota DPR itu yang terburu-buru ditutupi pintu pagar beton yang tingginya dua meter.

Kata Mahdi, tiga bulan sekali tetangganya itu pergi umroh. “Rumah itu sering kosong mas, mereka sering bolak-balik luar negeri”. Begitulah tutur Mahdi tentang tetangganya yang kaya raya itu.

Lebaran kali ini begitu memilukan bagi rakyat kecil seperti Mahdi. Ia tak merasakan kekhusuan ibadah. Perasaannya terus terdorong rasah bersalah, karena tak sanggup memberikan arti kebahagiaan pada istri dan kedua anaknya.

Potret
Mahdi dan dan tetangganya yang anggota DPR itu, adalah contoh potret buram kesalehan beragama. Mahdi yang miskin dan terbiarkan oleh tetangganya yang kaya dan nampak saleh dari permukaan itu, menggambarkan bahwa “betapa kesalehan beragama tidak berbanding lurus dengan kearifan dan kesalehan sosial”.

Idealnya, orang taat beragama otomatis tidak a-sosial. Tetangga Mahdi ini, menunjukkan laku yang sebaliknya. Semakin saleh beragama, justru semakin a-sosial.

Agama beserta perangkat ibadah menurut tetangga sebelah Mahdi, ibarat taman wisata spiritual. Sebatas meluahkan (alias memuntahkan) ego spiritual semata. Buktinya, kesalehan beragama yang digambarkannya dengan modar-mandir umroh tiga bulan sekali tiap tahun, tidak memberikan bekas kesalehan dimaksud secara sosial.

Seringnya umroh membuat tetangga Mahdi merasa saleh sendiri. Eksklusif dan meng-eramkan diri dalam gelimang harta dan kemewahan. Sementara Mahdi yang bertetangga dengannya hanya merasakan getaran-getaran kecil yang tidak mengefek pada perubahan nasibnya.

Kesalehan Borjuis
Beberapa abad lampau, nabi Muhammad saw dimaki-maki kaum kafir Quraisy. Mereka bukannya menolak Islam (Tauhid). Mereka hanya berang, karena kehadiran Muhammad dengan misi tauhidnya, memberangus tahta sosial mereka, menggeser kultur borjuis-kapitalistik yang ketika itu menganga lebar.

Sebelum Muhammad saw ditahbisakan menjadi rasul, kultur hidup orang-orang Arab Mekkah sangat kapitalistik. Disparitas sosial begitu nyata. Diskriminasi sosial terjadi seperti hal biasa. Masyarakat Mekkah ketika itu diatur hidupnya berkelas-kelas. Perbudakan dan jual beli manusia seperti benda mati di pasar kelontong. Anak perempuan dianggap aib dan sejumlah kejahiliaan lainnya.

Misi tauhid Muhammad saw adalah antitesa atas segala soal sosial yang pelik itu. Bahwa semua manusia sama di mata Tuhan. Bahwa esensi tauhid memosisikan manusia dalam suatu ikatan relasi yang penuh pertanggungjawaban. Yang kaya menyantuni, memberdayakan dan menopang kehidupan yang miskin. Di sinilah titik vital keberislaman itu.

Dewasa ini, ibadah telah mengalami pengkanalan yang bertendensi kelas sosial. Bukan rahasia umum lagi. Buka puasa bareng pejabat, elit partai, sahur bersama selebritis. Dan toh kalaupun buka bareng bersama fakir miskin dan anak yatim piatu, semua itu sebatas publikasi diri (Entertainment).

Judulnya buka puasa barenag anak yatim. Tapi juga disoroti ratusan kamera tv di hotel bintang lima. Diliput wartawan surat kabar hingga wartawan gosip. Besoknya berita itu muncul di halaman utama surat kabar. Muncul disetap breaking news. Buntut-buntutnya, semua amalan kamuflase itu sebatas pemenuhan syahwat kepopuleran dan marketing politik saja.

Mahdi adalah sosok yang terpinggirkan karena ketidakarifan tetangga sebelahnya yang berstatus anggota DPR. Seorang pejabat yang konon rajin umroh. Ibadah yang satu ini tak jarang juga mengalami pendangkalan spiritual. Umroh dewasa ini, tak ubahny seperti wisata spiritual.

Bolak-balik negeri suci, tiga bulan sekali dalam setahun. Tapi kearifan sosialnya sedemikian tumpul. Tak disadarinya, semua rangkaian ibadah haji dan umroh itu, mengandung nilai yang berpangkal pada kearifan hidup, kepekaan terhadap nasib orang lain. Bukan sebaliknya, eksklusif, pelit, medit, bakhil dan sekaligus serakah.

Dihari baik ini, mestinya pintu gerbang nurani tetangga Mahdi itu terketuk. Menyadari kealfaan dirinya yang telah diberikan amanah berupa kelimpahan materi dan jabatan. Paling tidak, ia bisa merasakan dan terlibat dalam penderitaan Mahdi. Agar Mahdi tidak terus diguyur derita dari satu lebaran ke lebaran berikutnya.

“Selamat Lebaran Mahdi”

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Website templateswww.seodesign.usFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver
Read more : http://rahman-ciblog.blogspot.com/2013/04/cara-membuat-judul-blog-bergerak-satu.html#ixzz2Zw8DGnBU