Dalam sistem masyarakat patriarkhi, perempuan ditempatkan sebagai “kelas nomor dua” setelah laki-laki. Akibat kedudukannya yang tersub-ordinasi tersebut, perempuan seringkali mengalami ketidak adilan gender berupa tindak kekerasan baik secara fisik (pemukulan, penganiayaan), psikologis (penghinaan) , seksual (perkosaan, pelecehan) maupun ekonomi (ketergantungan istri terhadap suami dalam ekonomi). Masih tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan mengindikasikan belum efektifnya bentuk-bentuk perlindungan hukum dan sosial terhadap perempuan.Tindak kekerasan terhadap perempuan sering berkaitan dengan instabilitas di rumah dan di masyarakat. Hal ini nampak dari 3 (tiga) kategori :
Pertama, kondisi kemiskinan akan mengakibatkan dilakukannya kekerasan untuk penyaluran frustasi dan agresi diarahkan kepada mereka yang lemah, yakni perempuan dan anak-anak.
Kedua, dalam masyarakat yang penuh instabilitas serta meningkatnya tekanan sosial, budaya kekerasan akan berkembang. Kekerasan menjadi bagian dari sistem yang berhubungan dengan konsep “maskulinitas.”
Ketiga, dalam masyarakat yang bergolak karena perang, kekerasan (secara seksual yaitu berupa pemerkosaan) merupakan bagian dari senjata yang digunakan untuk perempuan. Perkosaan adalah suatu praktek yang dipakai secara luas dan jarang dikecam apabila terjadi pada saat suatu negara berada dalam situasi perang atau situasi konflik. Konsekuensinya, perempuan yang diperkosa dianggap sesuatu hal yang wajar sehingga si pemerkosa dapat bebas dari jeratan hukum. Bagi pihak militer dan pemimpin-pemimpin politisi, pemerkosaan dianggap sebagai suatu tindakan privat atau personal sehingga perkosaan cenderung dianggap sebagai suatu ekses dari situasi konflik.Kekerasan terhadap perempuan terjadi karena perempuan di pandang sebagai “objek” bukan “subjek” yang memiliki kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya. Dilihat dari sisi siklus k
0 komentar:
Posting Komentar